Bismillah...
Simaklah nasehat para ulama kibar berikut semoga bisa jadi renungan buat kita...
Nasehat asy-Syaikh al-Muhaddits al-Ashr, Mujaddid haadza zaman, al-Allamah Samahatus Syaikh, Abu Abdillah Muhammad Nashiruddin al-Albany as-Salafy –rahimahullah-
Nasehat asy-Syaikh al-Muhaddits al-Ashr, Mujaddid haadza zaman, al-Allamah Samahatus Syaikh, Abu Abdillah Muhammad Nashiruddin al-Albany as-Salafy –rahimahullah-
MUTIARA NASEHAT SYAIKH ALBANY
TERHADAP THOLABUL ‘ILM
“Aku nasehatkan untuk saya pribadi
khususnya dan untuk saudara-saudaraku kaum muslimin pada umumnya agar bertaqwa
kepada Allah. Diantara bagian-bagian taqwa yang akan aku nasehatkan adalah :
Pertama, Hendaklah kalian menuntut ilmu syar’i dengan ikhlash
karena Allah, janganlah ada tujuan-tujuan yang lain seperti mengharapkan sesuatu balasan, ucapan terima kasih atau senang tampil di muka umum.
karena Allah, janganlah ada tujuan-tujuan yang lain seperti mengharapkan sesuatu balasan, ucapan terima kasih atau senang tampil di muka umum.
Kedua, diantara penyakit yang menimpa para penuntut ilmu syar’i adalah ujub
dan lupa daratan, dia merasa sudah memiliki ilmu cukup sehingga berani
berpendapat sendiri tanpa mengambil bantuan dan penjelasan ulama’ salaf.
Sebagaimana mereka tidak bersyukur kepada Allah yang telah memberikan taufiq
kepada mereka, berupa ilmu yang benar dan adab-adabnya, bahkan mereka tertipu
dengan diri mereka sendiri dan mereka menyangka bahwa mereka telah memiliki
kemapanan ilmu sehingga muncul dari mereka pendapat-pendapat yang
mengguncangkan, tidak dilandasi dengan pemahaman yang benar berlandaskan
al-Kitab dan as-Sunnah. Maka nampaklah pendapat-pendapat ini dari
pemikiran-pemikiran yang tidak matang, mereka menyangka bahwa fatwa-fatwa
tersebut adalah ilmu yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah. Maka, mereka
sesat dengan pemikiran-pemikiran tersebut dan menyesatkan banyak manusia, dan
kalian mengetahui semuanya diantara dampak negatif dari fenomena tadi adalah
munculnya kelompok-kelompok di sebagian negeri islam mengkafirkan
kelompok-kelompok lainnya dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, tidak bisa
kami kemukakan dalam kesempatan yang singkat ini, karena pertemuan kami ini
sekarang khusus sedang memberikan peringatan dan nasehat kepada para penuntut
ilmu dan juru da’wah, oleh karena itu saya nasehatkan saudara-saudara kami dari
ahli sunnah dan ahli hadits di seluruh negeri islam agar mereka sabar dalam
menuntut ilmu, dan agar mereka tidak tertipu dengan ilmu yang mereka miliki
sekarang. Mereka harus mengikuti jalan yang telah digariskan, jangan
sekali-kali mereka bersandar dengan mengandalkan semata-mata pemahaman mereka
atau mereka beri nama dengan ijtihad mereka. Saya sering sekali mendengar dari
saudara-saudara kami mereka mengatakan dengan sangat mudahnya, “saya
berijtihad” atau “saya berpendapat demikian” tanpa memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari
ucapan-ucapannya. Mereka tidak mengambil bantuan dari kitab-kitab fiqh dan
hadits serta pemahaman ulama terhadap kitab-kitab tersebut. Yang ada hanya hawa
nafsu dan pemahaman yang dangkal dalam menggunakan dalil, sedangkan penyebabnya
adalah ujub dan lupa daratan. Oleh
karena itu, sekali lagi aku nasehatkan kepada para penuntut ilmu agar menjauhi
segala akhlak yang tidak islami, di antaranya agar mereka tidak tertipu oleh
ilmu yang telah didapatkannya serta tidak tergelincir ke dalam ujub.
Ketiga, terakhir, agar mereka menasehati manusia dengan cara yang lebih
baik, menjauhi cara-cara yang kasar dan keras dalam berdakwah karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl : 125)
Allah berfirman dengan ayat tadi karena
kebenaran itu sendiri berat atas manusia atau menerimanya, dan berat atas
jiwa-jiwa mereka, oleh karena itu secara umum jiwa manusia sombong untuk
menerimanya, kecuali sedikit orang yang dikehendaki Allah untuk langsung
menerimanya. Apabila beratnya kebenaran itu atas jiwa manusia ditambah dengan
beratnya cara berupa kekasaran dalam da’wah, maka itu berarti menjadikan
manusia lari dari da’wah kebenaran. Kalian tentu mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya di antara kalian ada
orang-orang yang membuat orang lari (dari kebenaran). Beliau mengulanginya
tiga kali. Sebagi penutup, saya memohon kepada Allah Ta’ala agar jangan
menjadikan kami sebagai orang-orang yang membuat orang lain lari dari
kebenaran, akan tetapi jadikanlah kami sebagai orang-orang yang memiliki hikmah
dan orang-orang yang mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. (Disarikan dari Hayatul Albany, Juz I hal. 452-455 oleh Ustadz Fariq Qoshim Anuz
Perhatikanlah
pula nasehat asy-Syaikh al-Allamah
Faqiihuz Zaman Samahatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin
–rahimahullah- dalam salah satu muhadharahnya :
“Sangat
disayangkan sekali ketika saya mendengar tentang orang-orang yang termasuk
memiliki kesungguhan dalam mencari dan menerima kebenaran, meskipun demikian
kami dapatkan mereka berpecah-belah, masing-masing di antara mereka memiliki
nama dan sifat tertentu. Fenomena seperti ini sesungguhnya tidak benar,
sesungguhnya dien Allah Subhanahu wa
Ta’ala itu satu, dan ummat islam adalah ummat yang satu. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya
(agama Tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah
Rabb kalian, maka bertakwalah kepada-ku.´(QS Al-Mu’minun : 52)
Dan Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa
golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS an-An’am : 159).
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula :
“Dia
telah mensyariatkan bagi kalian tentang dien yang telah diwasiatkan kepada Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa. Yakni, tegakkan dien dan janganlah kalian
berpecah belah tentangnya.” (QS asy-Syuura : 13)
apabila
hal ini merupakan bimbingan Allah kepada kita, maka seharusnya kita praktekkan
bimbingan ini, kita berkumpul untuk mengadakan suatu pembahasan, saling
berdiskusi dalam rangka ishlah (perbaikan), bukan untuk mendiskreditkan atau
membalas dendam, karena sesungguhnya siapa saja yang membantah orang lain atau
adu argumentasi dengan maksud mempertahankan pendapatnya atau untuk menghinakan
pendapat orang lain dan bermaksud untuk mencela bukan untuk ishlah, maka
hasilnya tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, pada umumnya demikian.
Kewajiban kita adalah untuk menjadi
ummat yang satu. Saya tidak mengatakan bahwa setiap manusia tidak memiliki
kesalahan, bahkan manusia itu memiliki kesalahan, disamping memiliki kebenaran.
Hanya saja pembicaraan kita sekarang ini mengenai cara memperbaiki kesalahan,
maka bukan cara yang benar untuk memperbaikinya adalah berkumpul dengannya dan
mendiskusikannya, apabila terbukti setelah itu bahwa orang tersebut tetap
mempertahankan kebatilannya, maka saat itu saya memiliki alasan bahkan wajib
atas saya untuk menjelaskan kesalahannya, dan mentahdzir manusia dari kesalahan
orang tersebut, dengan demikian segala urusan akan menjadi baik.
Sedangkan perpecahan dan
bergolong-golongan, maka sesungguhnya yang demikian tidak disukai oleh
siapapun, kecuali oleh musuh islam dan musuh kaum muslimin. (disarikan dari Zaadud da’iyah ilallah, hal. 26-28, oleh Ust. Fariq Qoshim Anuz)
Di sini ana
nukilkan pula permata nasehat dari lisan yang mulia asy-Syaikh al-Faqih al-Mujaddid Haadza Zamaan al-Mufti al-‘aam
al-Allamah Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz –rahimahullah-
MUTIARA NASEHAT SYAIKH IBNU BAZZ TERHADAP THOLIBUL ‘ILM
Segala puji bagi Allah, Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada rasul-Nya, Nabi kita Muhammad,
keluarganya dan sahabatnya. Adapun setelah itu :
Adalah tidak diragukan lagi, bahwasanya
menuntut ilmu termasuk seutama-utama amalan yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah, termasuk sebab-sebab kesuksesan meraih surga dan kemuliaan bagi
pelakunya. Termasuk hal yang
terpenting dari perkara-perkara yang penting adalah mengikhlaskan diri dalam
menuntut ilmu, menjadikan menuntutnya karena Allah bukan karena selain-Nya.
Dikarenakan yang demikian ini merupakan jalan yang bermanfaat baginya dan juga
merupakan sebab diperolehnya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.
Dan sungguh telah dating sebuah hadits
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
bahwasanya beliau bersabda, “Barangsiapa
yang mempelajari suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, tidaklah ia
mempelajarinya melainkan untuk memperoleh harta dunia, dia takkan mendapatkan harumnya
bau surga di hari kiamat.” Dekeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang
hasan. Dan dikeluarkan pula oleh Turmudzi dengan sanad yang di dalamnya ada
kelemahan, dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa
menuntut ilmu dengan maksud untuk membantah ulama, atau mengumpulkan
orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepada-Nya, niscaya
Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”
Maka kunasehatkan kepada tiap-tiap
penuntut ilmu dan kepada setiap muslim –yang mengetahui perkataan ini- untuk
senantiasa mengikhlaskan segala macam amalan karena Allah, sebagai
pengejawantahan firman Allah : “barangsiapa
yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia beramal sholih dan
tidak mensekutukan Allah di dalam peribadatan sedikitpun.” (QS Al-Kahfi :
110). Dan di dalam shohih Muslim dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda : “Allah
Azza wa Jalla Berfirman, Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari kesyirikan,
barangsiapa yang beramal suatu amalan yang mensekutukan-Ku dengan selain-Ku,
kutinggalkan ia dengan sekutu-Nya.”
Aku
wasiatkan pula kepada tiap tholibul ‘ilm dan tiap muslim untuk takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa
segala urusannya diawasi oleh-Nya, sebagai implementasi firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang takut dengan
Rabb mereka yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan
pahala yang besar.” (QS Al-Mulk : 12) dan firmannya, “Dan bagi orang-orang yang takut dengan Tuhannya disediakan dua surga.” (QS
ar-Rahman : 46).
Berkata sebagian salaf, “Inti dari ilmu adalah takut kepada Allah”. Berkata
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
“Cukuplah takut kepada Allah itu dikatakan sebagai ilmu dan cukuplah
membangkang dari-Nya dikatakan sebagai kejahilan.”. Berkata sebagian salaf
: “Barangsiapa yang lebih mengenal Allah
nsicaya dia lebih takut kepada-Nya.” dan menunjukkan kebenaran makna ini sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Adapun
aku, demi Allah, adalah orang yang lebih takut kepada Allah daripada kalian dan
aku lebih bertakwa kepada-Nya daripada kalian.” Diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim. Oleh karena itulah, kekuatan ilmu seorang hamba terhadap Allah
adalah merupakan sebab kesempurnaan takwa dan keikhlasannya, wuqufnya (berhentinya) dia dari batasan-batasan
Allah dan kehati-hatiannya dari kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling takut kepada
Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama’” (QS Fathir : 28). Maka ulama yang
mengetahui Allah dan agamanya, mereka adalah manusia yang paling takut kepada
Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, serta mereka adalah orang yang paling mampu menegakkan agama-Nya. Di
atas mereka ada pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Rasul dan Nabi –‘alaihimush sholaatu was salaam- kemudian para pengikut mereka dengan lebih
baik.
Nabi mengabarkan termasuk tanda-tanda
kebahagiaan adalah fahamnya seorang hamba akan agama Allah. Bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Barangsiapa
dikehendaki Allah atasnya kebaikan niscaya ia akan difahamkan akan agamanya”, dikeluarkan
di dalam shahihain dari hadits Mu’awiyah Rahiallahu
‘anhu. Tidaklah hal yang demikian ini melainkan dikarenakan faham terhadap
agama akan mendorong seorang hamba untuk menegakkan perintah Allah, untuk takut
kepada-Nya dan memenuhi kewajiban-kewajiban-Nya, menghindari apa-apa yang
membuat-Nya murka. Faham terhadap agama akan membawanya kepada akhlak yang
mulia, amal yang baik, dan sebagai nasehat kepada Allah dan hamba-hamba-Nya.
Aku memohon kepada Allah Azza wa jalla untuk menganugerahkan kita,
seluruh penuntut ilmu dan kaum muslimin seluruhnya, dengan pemahaman di dalam
agama-Nya dan istiqomah di atasnya. Semoga Allah melindungi kita dari seluruh
keburukan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amal-amal kita, sesunggunya Allahlah
pelindung dari hal ini dan Ia maha memiliki kemampuan atasnya.
Semoga Shalawat dan Salam tercurahkan
kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.
(diterjemahkan dari Mansyurat Markaz Imam Albany lid Dirasat
al-Manhajiyah wal Abhatsil Ilmiyyah (Surat edaran Markaz Imam Albany
tentang pelajaran manhaj dan riset ilmiyah) yang berjudul min durori kalimaati samahatis syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin
Abdullah bin Bazz –rahimahullah- Nashihatu Lithullabatil ‘ilm oleh Abu
Salma bin Burhan)
Terakhir
ana nukilkan mutiara nasehat Syaikhul
Masyayikh dari Madinah, Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Abdul Muhsin
al-‘Abbad al-Badr as-Salafy al-Atsary –Hafidhahullah- dalam kitab beliau Rifqan ahlas sunnah bi ahlis sunnah
tentang masalah caci maki dan tahdzir :
MUTIARA NASEHAT SYAIKH ABDUL MUHSIN ABBAD
1.
Hendaknya orang yang
menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta
mentahdzir terhadap mereka, hendaklah ia merasa takut kepada Allah. Lebih baik
ia menyibukan diri dengan memeriksa aib-aibnya supaya ia terlepas dari aibnya
tersebut, dari pada ia sibuk dengan aib-aib orang lain, dan menjaga kekekalan
amalan baiknya jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan
membagi-bagiakannya kepada orang yang dicela dan dicacinya, sedangkan ia sangat
butuh dari pada orang lain terhadap amal kebaikan tersebut pada hari yang tiada
bermanfaat pada hari itu harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang
menghadap Allah dengan hati yang suci.
2.
Hendaklah ia
menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang bermanfaat dari pada ia sibuk
melakukan celaan dan tahdziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari
ilmu tersebut supaya ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat
manfa’at dan bermanfa’at, maka diantara pintu kebaikan bagi seorang manusia
adalah bahwa ia sibuk dengan ilmu, belajar, mengajar, berda’wah dan menulis,
apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan
yang membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan
para penuntut ilmu dari Ahlus Sunnah serta menutup jalan yang menghubungkan
untuk mengambil faedah dari mereka sehingga ia menjadi golongan penghancur,
orang yang sibuk dengan celaan seperti ini, tentu ia tidak akan meninggalkan
sesudahnya ilmu yang dapat memberi manfa’at, serta manusia tidak akan merasa
kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang memberi mereka
manfa’at, justru dengan kepergiannya mereka merasa selamat dari kejahatannya.
3.
Bahwa ia menganjurkan
kepada para generasi muda dari Ahlus Sunnah pada setiap tempat untuk
menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfa’at dan
mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syeikh Bin
Baz dan Syeikh Bin Al ‘Utsaimin, dari pada menyibukan diri mereka dengan
menelepon si fulan dan si fulan untuk bertanya; (apa pendapat engkau tentang si
fulan atau si fulan?), dan (apa pula pandanganmu terhadap perkataan si fulan
terhadap si fulan?), dan (perkataan si fulan terhadap si fulan?).
4.
Hendaknya ketika
seorang penuntut ilmu bertanya tentang hal orang-orang yang menyibukan dirinya
dengan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada tim komisi
pemberi fatwa di Riyadh untuk bertanya tentang hal mereka tersebut, apakah
mereka tersebut berhak untuk dimintai fatwanya dan boleh menuntut ilmu darinya
atau tidak?, dan barang siapa yang betul-betul tahu tentang hal seseorang
tersebut hendaklah ia menulis surat kepada tim komisi pemberi fatwa
tentang apa yang diketahuinya tentang halnya untuk sebagai bahan pertimbangan
dalam hal tersebut, supaya hukum yang lahir tentang celaan dan tahdziran timbul
dari badan yang bisa dipercaya fatwa mereka dalam hal menerangkan siapa yang
boleh diambil darinya ilmu dan siapa yang bisa dimintai fatwanya. Tidak
diragukan lagi bahwa seharusnya badan resmilah sebagai tempat rujukan berbagai
persoalan yang membutuhkan fatwa dalam hal mengetahui tentang siapa yang boleh
dimintai fatwanya dan diambil darinya ilmu, dan janganlah seseorang menjadikan
dirinya sebagai rujukan dalam seperti hal-hal yang penting ini, sesungguhnya
diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak
menjadi urusannya.
5.
Kewajiban setiap
penuntut ilmu yang mau menasehati dirinya, hendaklah ia memalingkan
perhatiannya dari mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan internet
tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai. Ketika
mempergunakan jaringan internet hendaklah menghadapkan perhatiannya pada web
site Syeikh Abdul ’Aziz bin Baz -رحمه الله-
dan membaca berbagai
karangan dan fatwanya yang jumlahnya sampai sekarang dua puluh satu jilid, dan
fatwa tim komisi fatwa yang jumlahnya sampai sekarang dua puluh jilid,
begitu juga web site Syeikh Muhammad bin ‘Utsaimin -رحمه الله- dan membaca buku-buku dan fatwa beliau
yang cukup banyak lagi luas.
Sebagai penutup saya wasiatkan kepada para penuntut ilmu supaya
mereka bersyukur kepada Allah atas taufik yang diberikanNya kepada mereka;
ketika Allah menjadikan mereka diantara orang-orang yang menuntut ilmu, dan
hendaklah mereka menjaga keikhlasan mereka dalam menuntut ilmu tersebut dan
mengorbankan segala yang berharga untuk mendapatkannya, serta menjaga waktu
untuk selalu sibuk dengan ilmu. Sesungguhnya ilmu tidak bisa diperoleh dengan
cita-cita belaka serta tetap kekal dalam kemalasan dan keloyoan (diterjemahkan dari kitab Rifqan ahlas sunnah bi ahlis sunnah oleh
Ust. Abu Hasan al-Maidany. PERHATIAN : Beberapa ulama’ mentahdzir orang-orang
yang menyebarkan buku ini sebagai shohibul fitnah ataupun mubtadi’, namun
beberapa kibarul Ulama’ dalam www.alisteqama.net seperti Syaikh Sholih Fauzan
al-Fauzan dan Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, mentazkiyah buku ini dan
menganjurkan untuk menyebarkannya. Termasuk yang mentazkiyah risalah ini adalah
syaikh Abdul Malik Ramadhani al-Jazairy. Syaikh Sholih Alu Syaikh, Syaik Sholih
as-Suhaimy, dll.)